About Me

My photo
I pledge allegiance to no one except only to "God, King and Country". Honestly speaking, I'm extremely pissed with people of "immigrant mentality" who has long been granted citizenship regardless of their race or descent and yet they seek to alter the written and unwritten laws of my beloved sovereign land ("Malay"sia) unjustifiably without conditioning themselves to deserve better. This resentment also extends to those who are obsessed with party based politics which I think is just another form of mindless gangsterism inherited and touted from our once western colonial invaders to keep us ideologically divided and in constant disarray even after long they've left these lands.

Friday, March 26, 2010

For God's sake... please try to be a Malay in "Malay"sia or at the very least be a "Kafir Zimmi"!

If Non Malays - Non Muslims are asking "What can they do to feel fully accepted as 'Malay'sians?"... I'm laying out the facts and a constructive solution here. So whether or not they are going to accept or reject my idea, its totally up to them. I don't hold the key to their destiny... that they have to change it themselves.

Undeniably "identity" plays a major role in determining one's cultural and historical relevance subject to the region or land where one is residing as highlighted by the article excerpt below presented by Raja Dr. Nazrin Shah and published by The Star 21 April 2009. Read my lips, this sovereign nation is called "Malay"sia... it's not "Jawa"sia, it's not "Bugis"sia, it's not "Iban"sia and it is certainly not "China"sia or "India"sia. Get the point?... Chinese got China to champion their identity and Indians got India to champion their identity respectively. Similarly, my Malay-Muslim identity bears no relevance if were I residing in America or Europe or China or India for that matter. So I hope the Non Malay - Non Muslims in "Malay"sia would give a weighty consideration about their identity status by speaking the language, practicing the culture and it could even be better if they can  follow sincerely the religion of the majority in "Malay"sia in order to be accepted as trully Malaysians.

"The Regent of Perak, Raja Dr Nazrin Shah said Obama was a product of the premier education system in the United States, spoke the language and practised the culture of majority of Americans, chose to follow Christianity, the religion of the majority of the Americans, although his grandfather, Hussein Onyango Obama, was a Muslim and his father, Barack Hussein Obama Sr, was born to a Muslim family."

Think of it this way... This is a very basic fundamental of the laws of human nature.
"In order to deserve something, one has to condition oneself and make the necessary sacrifices in the right direction to attain that privillege."
Perspectively, if one wants to be an engineer one has to condition oneself to think like an engineer and make the necessary sacrifices to be conditioned as an engineer. Generally speaking, can the engineer community accept a lawyer to be one of them without the proper conditioning in engineering background? Can an engineer expect to be respected and receive the same privilleges as a medical doctor by their medical staff in a hospital? Irregardless whether the engineer is good or bad in his or her profession... he or she is still someone who's been conditioned in the aspect of engineering therefore deserves the recognition with respect to engineering but not in the medical field. Do you follow at what I'm getting at? Now, speaking about recognition... it also comes in various levels. Still discussing referrence in the context of engineering, usually a diploma holder would probably hold the post of a technician... a fresh graduate degree holder perhaps will hold the post of a junior engineer and so on and so forth. See how complex the human nature is when it comes to determining one's identity? But can we say that this part of human nature is wrong? Obviously it happens for a reason, otherwise any Tom, Dick and Harry can be recognised as a medical doctor or a lawyer or an engineer or an accountant without proper conditioning. So the question here is... if it can be applied in determining the identity for our respective professions, why can't it be applied to determine the identity of our nationality based on the name of our sovereign nation "Malay"sia? So if you are Non Malay - Non Muslim, you can still decide who you want to be in "Malay"sia... you could even be better "Malays" than some who claim themselves as "Malays", but first you will have to follow and condition yourself to be part of the majority presiding predominant mould of this sovereign nation.    

Is that too much to ask for? Well, if it is... then perhaps at the very least Non Malay - Non Muslims should condition themselves to be "Kafir Zimmis" instead of being "Kafir Harbis".    

"Kafir Zimmi (ahlul zimmi) - non-muslim who gain protection from muslim governed state/country through a pact with muslim country preserving their rights on their life, safety, properties, religious/worship freedom as long as it does not transgress nor conflict the laws of Islam and the predominant mould."

Terjemahan Melayu "Nilai Kebebasan" Menurut Perspektif Penulis

Sebelum kita mengupas permasalahan yang melanda di negara kita. Perlulah kita benar-benar faham akan erti kata konteks sebenar "Freedom" atau "Nilai Kebebasan". Yang sebenar-benarnya, tiada satu negara pun di atas muka bumi ini yang mengamalkan mahupun membenarkan kebebasan mutlak kepada setiap warganegaranya. Setiap negara, kerajaan dan wilayah ada acuan budaya masing-masing yang berdaulat. Oleh itu perlulah kita hormati acuan tersebut di mana juga bumi kita berpijak selagi kita tidak dizalimi. Oleh itu terjemahan ayat Inggeris di bawah kepada bahasa Melayu adalah seperti berikut.

"Freedom is best appreciated when you’ve voluntarily completey relinquished your own freedom in order to be conditioned to serve as well as to defend and uphold the freedom of others in accordance to the pre-existing presiding mould of your sovereign nation."

"Nilai kebebasan dapat dihayati dengan sebaiknya, apabila anda telah menyerahkan sepenuhnya kebebasan anda sendiri dengan ikhlas, untuk melalui proses suai diri demi berkhidmat dan mempertahankan serta menegakkan kebebasan orang lain, menurut acuan yang diamalkan sejak turun temurun di bumi berdaulat yang anda berpijak."

Kita harus akur dan bersedia menerima bahawa bukan semua budaya pendatang adalah salah dan merugikan. Tetapi janganlah kita terima bulat-bulat semua unsur budaya pendatang tanpa mengira baik buruknya. Kebanyakan warga Malaysia khususnya orang-orang Melayu-Islam memang berasal dari keturunan pendatang... itu adalah kenyataan dan hakikat. Tetapi acuan budaya negara kita memang senantiasa meraikan kepelbagaian bangsa dan budaya di bawah satu naungan ideologi iaitu di bawah tampuk pemerintahan Raja-Raja Melayu khususnya pada era perkembangan Kerajaan Kesultanan Melayu Melaka. Selagi budaya asing mereka itu tidak mencabar dan bertentangan dengan budaya dan ideologi Melayu yang pesat dipengaruhi agama Islam, selagi itulah kemasukan pendatang-pendatang ini ke alam "Melayu" amat dialu-alukan sehingga dilihat sebagai satu proses sejarah yang turut memperkayakan dan memperkasakan budaya, ketamadunan, peradaban dan pemikiran Melayu. Justeru, peristiwa ini turut menyaksikan Melaka menjadi pusat pendakwahan Islam dan pusat perdagangan terkemuka di Asia Tenggara dan di mata dunia satu ketika dahulu.  Maka mereka yang bukan-Melayu juga perlu mengambil inisiatif yang pro-aktif dalam menghayati peristiwa bersejarah tersebut untuk merapatkan jurang perbezaan dengan sekurang-kurangnya menghormati serta memberi keutamaan kepada agama, budaya dan bahasa Melayu-Islam di Tanah Melayu sekalipun mereka dari kalangan bukan-Melayu belum bersedia lagi untuk menerima acuan ideologi Melayu-Islam sepenuhnya.

Bukankah ini pendekatan yang rasional demi memupuk semangat perpaduan melalui satu identiti yang diamalkan di semua negara maju? Adakah permintaan kita orang-orang Melayu-Islam dalam usaha memartabatkan agama, budaya dan bahasa ibunda sendiri bersifat keterlaluan sehingga menzalimi mereka yang bukan-Melayu? Adakah sebilangan besar mereka yang bukan-Melayu tiada makan, tiada peluang pekerjaan atau perniagaan, tiada tempat berteduh di bumi "Malay"sia ini? Hakikatnya sebilangan besar orang-orang Melayu-Islam masih merempat di bumi sendiri berbanding bilangan mereka yang bukan-Melayu. Jadi apa lagi yang harus dikeluhkan oleh mereka dari kalangan yang bukan-Melayu yang dikurniakan taraf warganegara tanpa syarat "jus soli" (free citizenship) kepada tok nenek moyang mereka semasa kemerdekaan tetapi kemudian menolak daripada mengasimilasikan diri mengikut acuan asal majoriti budaya negara kita yang berteraskan Melayu-Islam? Maka, apa bezanya di sebalik keruntuhan prinsip dan moral orang-orang Melayu yang didakwa mensia-siakan dasar bantuan kerajaan melalui keutamaan yang diberikan berlandaskan Dasar Ekonomi Baru (DEB)? Sedangkan mereka orang-orang bukan-Melayu telah menerima keistimewaan terlebih dahulu, ketika negara ini menerima kemerdekaan dari British pada 31 Ogos 1957  dengan dianugerahkan taraf kewarganegaraan tanpa syarat tetapi kemudian mensia-siakannya untuk tidak mengasimilasikan diri secara ikhlas supaya generasi mereka yang seterusnya dapat diserapkan ke dalam masyarakat Melayu-Islam untuk menerima bantuan dan keistimewaan yang sama. Orang-orang Melayu dan Bumiputra hanya mendapat pembelaan 14 tahun selepas kemerdekaan setelah DEB diperkenalkan pada tahun 1971. Itupun setelah negara ini menyaksikan percubaan orang-orang bukan-Melayu mencabar hak-hak keistimewaan orang-orang Melayu Bumiputra yang jelas termaktub dalam perlembagaan Malaysia dengan melakukan pembunuhan kejam, kempen politik perkauman dan perarakan provokasi terhadap orang-orang Melayu pada 10 Mei 1969 sejurus sebelum peristiwa berdarah 13 Mei pada tahun yang sama.

Pembunuhan kejam seorang Melayu di Pulau Pinang pada 24 April 1969 oleh pemuda Cina dari Parti Buruh yang cuba disembunyikan oleh pihak kerajaan (UMNO) supaya tidak tercetusnya rusuhan kaum. Namun begitu, peristiwa ini tidak juga menimbulkan keinsafan dari golongan pendatang "Kafir Harbi". Malah mereka terus-menerus mencabar kesabaran orang Melayu-Islam dengan mengadakan perarakan provokasi pada 9, 10, 11 dan 12 Mei 1969 yang akhirnya membawa kepada tragedi berdarah 13 Mei 1969. Perhatikan replika "Penyapu Besar " di bawah, simbolik untuk "menyapu" (menghalau) orang-orang Melayu keluar dari kawasan-kawasan bandar dan seterusnya keluar dari bumi "Melayu" sendiri.
  
(Sumber di atas adalah dari petikan blog Jebat Must Die)



Inilah padahnya sekiranya kita Melayu-Islam gagal untuk merapatkan hubungan dan berdakwah kepada mereka dari kalangan bukan-Melayu "Kafir Zimmi" (kafir yang tidak memerangi orang Islam dan tunduk dengan pemerintahan Islam) dan terlalu memberikan muka serta kebebasan tak terkawal kepada mereka yang tidak tahu bersyukur apatah lagi jauh sekali untuk bertauhidkan kepada Allah dan Islam sebagai teras kepercayaan mereka dari golongan bukan-Melayu "Kafir Harbi" (kafir yang memerangi orang-orang Islam). Kita sepatutnya telah menangani isu "Kafir Harbi" di "Malay"sia sejak dulu lagi dengan kekerasan dan mengusir mereka keluar dari bumi bertuah ini kecuali  jikalau mereka mahu berubah dan tunduk kepada pemerintahan acuan Melayu-Islam. Tetapi kita dapati yang sebaliknya pula yang telah berlaku. Ramai pemimpin Melayu (diragui ke-Islaman mereka) dari ahli politikus (telah benar-benar menjadi tikus) sampailah ke raja-raja telah terpengaruh dengan "pemikiran pendatang" golongan "kafir harbi" ini yang mencanangkan gaya hidup sosial yang eksklusif dengan meracuni fikiran mereka dengan candu, arak, mahjong / berjudi, pelacuran dan sebagainya. Ini secara tidak langsung telah melemahkan keperibadian pemimpin Melayu kita, daripada memperjuangkan hak-hak orang Melayu-Islam dan Bumiputra di atas landasan yang benar-benar tulus ikhlas dan berani sehinggalah ke hari ini. Kita benar-benar ketandusan pemimpin Melayu-Islam yang berkaliber dari barisan parti pembangkang sampailah ke parti yang memerintah... kedua-duanya sama sahaja.

Pada pendapat hamba, kegagalan negara kita "Malay"sia untuk membentuk satu identiti nasionalisme yang jitu berpunca dari tiga perkara:

  1. Kelemahan pemerintahan dan pentadbiran Melayu-Islam yang kemudiannya dimanipulasikan untuk memenuhi agenda golongan-golongan tertentu.

  2. Kelemahan pemahaman dari masyarakat Melayu-Islam sendiri mengenai identiti, ideologi dan takrif "Melayu-Islam" yang juga satu ketika dahulu terdiri daripada pelbagai bangsa pendatang khususnya dari Arab, Tamil-Islam (Mamak), Cina-Islam dan sebagainya yang bergaul susur galur keturunannya dengan suku-suku tempatan seperti Jawa, Minang, Bugis, Acheh, Banjar, Sulu dan sebagainya tetapi bernaung di bawah satu ideologi dan satu identiti "Melayu-Islam" di bawah pemerintahan Raja-Raja Melayu. Kelemahan ini telah menyebabkan sebilangan besar masyarakat Melayu-Islam berpendirian tertutup dan berasa selesa di tanahair sendiri lantas melupakan usaha-usaha berdakwah kerana majoriti rakyat tempatan pada ketika itu sudah pun di"Islam"kan. Keadaan ini diburukkan lagi dengan penjajahan British ke atas Semenanjung Tanah Melayu dan Borneo yang membawa masuk buruh-buruh kaum pendatang secara beramai-ramai sebelum dan selepas perang dunia kedua yang berlainan fahaman agama, walaupun pada ketika itu pihak British menyedari terdapat berjuta-juta rakyat India dan Cina yang beragama Islam, tetapi mereka sengaja memilih dari kalangan yang bukan Islam supaya mereka dapat seterusnya mengamalkan sistem pentadbiran pecah dan perintah. Kelemahan ini sekali lagi dilengkapkan dengan ketiadaan tindakan susulan selepas kemerdekaan untuk berdakwah dan menarik mereka secara bersepadu dan sistematik dari kalangan pendatang yang baru dianugerahkan taraf kewarganegaraan tanpa syarat untuk mengasimilasikan diri secara rela hati dengan masyarakat Melayu-Islam tempatan dalam usaha menyedarkan mereka bahawa generasi mereka juga seterusnya mampu menikmati keistimewaan yang saksama dengan syarat mereka mengikut acuan masyarakat Melayu-Islam.

  3. Kurangnya keikhlasan dan inisiatif kendiri oleh sebilangan besar pihak pendatang gelombang era British untuk sekurang-kurangnya merapatkan jurang perbezaan dengan masyarakat tempatan Melayu-Islam walaupun dianugerahkan taraf kerakyatan tanpa syarat selepas memperolehi kemerdekaan. Sebilangan besar mereka ini dari kalangan pendatang gelombang era British telah meletakkan kepentingan "identiti bangsa" mereka masing-masing yang berasal beribu-ribu batu jaraknya dari Semenanjung Tanah Melayu dan Borneo mendahului kerakyatan "Malay"sia yang mereka nikmati tanpa syarat. Apakah rasionalnya di sebalik pemikiran ini? Akibatnya, mereka melahirkan generasi seterusnya di bumi "Malay"sia yang tidak boleh kita nafikan kerakyatannya ataupun dilabel sebagai "pendatang" tetapi malangnya sebilangan besar masih mengekalkan "pemikiran pendatang" dan dilayan umpama warganegara taraf kelas kedua. Kita bersimpati dengan mereka, tetapi mereka juga harus sedar setiap pencapaian mestilah melalui pengorbanan menuju ke arah matlamat yang betul. Di sebalik sejarah setiap individu Melayu-Islam juga pasti ada tok nenek moyang mereka yang berkorban mengikut lunas-lunas arah matlamat yang betul supaya generasi mereka seterusnya diterima dan diserapkan ke dalam masyarakat Melayu-Islam. Sepatutnya orang-orang bukan-Melayu warganegara "Malay"sia harus melihat dasar kerajaan yang memberikan keutamaan kepada identiti Melayu-Islam sebagai lambang teras kepada identiti kewarganegaraan "Malay"sia sebagai suatu insentif untuk mereka berusaha mengasimilasikan diri untuk diserap dan diterima kedalam masyarakat Melayu-Islam, tetapi sebaliknya mereka telah menganggap dasar ini sebagai proses penyisihan dan diskriminasi terhadap kaum dan keluarga mereka.


Hari ini kita berdepan dengan era globalisasi, di mana kita terpaksa menghadapi isu pendatang gelombang ketiga dari pelbagai sudut rantau yang beridentitikan pelbagai etnik dan budaya. Adakah kita akan membenarkan pembentukkan "Sekolah Jenis Kebangsaan"- Bangladesh, Pakistan, Myanmmar, Iran, Afrika, Uzbekistan dan sebagainya apabila komuniti kecil mereka meletus menjadi populasi minoriti? Adakah kita akan mengumumkan hari perayaan berdasarkan budaya mereka sebagai cuti umum di "Malay"sia suatu hari nanti? Jika tidak... apakah justifikasi dan penjelasan yang boleh kita tawarkan kepada masyarakat mereka, sedangkan kita masyarakat "Malay"sia telah membuka laluan kepada kaum "Cina" dan "India" untuk mengembangkan identiti bangsa masing-masing di bumi "Malay"sia?

Sama-sama kita tunggu dan lihat...